19 Jun 2011

Apakah Bunga Bank Termasuk Riba...?




Sesungguhnya bunga yang diambil oleh penabung di bank adalah riba yang diharamkan, 
karena riba adalah semua tambahan yang disyaratkan atas pokok  harta.  Artinya, 
apa  yang  diambil seseorang   tanpa   melalui   usaha  perdagangan  dan  tanpa 
berpayah-payah sebagai tambahan atas  pokok  hartanya,  maka yang  demikian  itu  
termasuk  riba.  Dalam  hal  ini  Allah berfirman:       "Hai orang-orang yang 
beriman, bertakwalah kepada      Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut)
      jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu      tidak mengerjakan 
(meninggalkan sisa riba) maka      ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan     
memerangimu. Dan jika kamu bertobat (dari pengambilan      riba), maka bagimu pokok 
hartamu; kamu tidak      menganiaya dan tidak (pula) dianiaya."     (Antara lain 
Baqarah: 278-279)   Yang dimaksud dengan tobat di  sini  ialah  seseorang  tetap 
pada  pokok  hartanya,  dan  berprinsip  bahwa tambahan yang timbul darinya adalah 
 riba.  Bunga-bunga  sebagai  tambahan atas  pokok  harta  yang diperoleh tanpa 
melalui persekutuan atas perkongsian, mudharakah, atau bentuk-bentuk persekutuan 
dagang lainnnya, adalah riba yang diharamkan. Sedangkan guru saya  Syekh  Syaltut   
sepengetahuan   saya   tidak   pernah memperbolehkan  bunga  riba, hanya beliau 
pernah mengatakan: "Bila keadaan darurat --baik darurat individu maupun darurat 
ijtima'iyah--  maka  bolehlah dipungut bunga itu." Dalam hal ini  beliau   
memperluas   makna   darurat   melebihi   yang semestinya,  dan  perluasan  beliau  
ini tidak saya setujui. Yang pernah beliau fatwakan  juga  ialah  menabung  di  bank
 sebagai sesuatu yang lain dari bunga bank. Namun, saya tetap tidak setuju dengan 
pendapat ini.   Islam tidak memperbolehkan seseorang menaruh pokok  hartanya dengan
  hanya  mengambil  keuntungan.  Apabila dia melakukan perkongsian,  dia  wajib  

memperoleh  keuntungan   begitupun kerugiannya.  Kalau  keuntungannya sedikit, 
maka dia berbagi keuntungan sedikit, demikian juga jika memperoleh keuntungan 
yang banyak. Dan jika tidak mendapatkan keuntungan, dia juga harus menanggung 
kerugiannya. Inilah makna persekutuan  yang sama-sama memikul tanggung jawab.   
Perbandingan  perolehan  keuntungan  yang tidak wajar antara pemilik  modal   
dengan   pengelola   --misalnya   pengelola memperoleh  keuntungan  
sebesar  80%-90%  sedangkan  pemilik modal  hanya  lima  atau  enam  persen-- 
 atau   terlepasnya tanggung  jawab  pemilik  modal  ketika  pengelola mengalami 
kerugian, maka  cara  seperti  ini  menyimpang  dari  sistem ekonomi  Islam  
meskipun  Syeh  Syaltut  pernah  memfatwakan kebolehannya. Semoga Allah memberi 
rahmat dan ampunan kepada beliau.   Maka pertanyaan apakah dibolehkan mengambil 
bunga bank, saya jawab tidak boleh. Tidak halal baginya dan  tidak  boleh  ia 
mengambil   bunga  bank,  serta  tidaklah  memadai  jika  ia menzakati harta yang 
ia simpan di bank.   Kemudian langkah apa yang harus kita lakukan jika menghadapi
 kasus demikian?   Jawaban saya: segala sesuatu yang haram tidak boleh dimiliki dan 
wajib  disedekahkan  sebagaimana  dikatakan  para  ulama muhaqqiq  (ahli tahqiq). 
Sedangkan sebagian ulama yang wara' (sangat berhati-hati) berpendapat bahwa uang itu 
tidak boleh diambil  meskipun untuk disedekahkan, ia harus membiarkannya atau 
membuangnya ke laut.  Dengan  alasan,  seseorang  tidak boleh  bersedekah dengan 
sesuatu yang jelek. Tetapi pendapat ini bertentangan  dengan  kaidah  syar'iyyah  
yang  melarang menyia-nyiakan harta dan tidak memanfaatkannya.   Harta  itu  bolehlah
  diambil  dan disedekahkan kepada fakir miskin, atau disalurkan  pada  proyek-proyek
  kebaikan  atau lainnya  yang  oleh  si  penabung  dipandang bermanfaat bagi 
kepentingan Islam dan kaum muslimin. Karena harta haram  itu --sebagaimana  saya 
katakan-- bukanlah milik seseorang, uang itu bukan milik  bank  atau  milik  penabung,
  tetapi  milik kemaslahatan umum.   Demikianlah  keadaan  harta yang haram, tidak 
ada manfaatnya dizakati, karena zakat itu tidak dapat  mensucikannya.  Yang dapat  
mensucikan  harta ialah mengeluarkan sebagian darinya untuk zakat. Karena itulah 
Rasulullah saw. bersabda:       "Sesungguhnya Allah tidak menerima sedekah dari     
 hasil korupsi." (HR Muslim)   Allah tidak menerima sedekah dari harta semacam ini, 
 karena harta  tersebut  bukan  milik  orang yang memegangnya tetapi milik umum yang 
dikorupsi.   Oleh sebab itu, janganlah  seseorang  mengambil  bunga  bank untuk 
 kepentingan  dirinya,  dan  jangan pula membiarkannya menjadi milik bank sehingga
 dimanfaatkan karena hal ini akan memperkuat posisi bank dalam bermuamalat secara 
riba. Tetapi hendaklah   ia   mengambilnya   dan   menggunakannya    pada jalan-jalan
 kebaikan.   Sebagian   orang   ada   yang   mengemukakan   alasan  bahwa 
sesungguhnya seseorang yang  menyõmpan  uang  di  bank  juga memiliki  risiko  
kerugian  jika bank itu mengalami kerugian dan  pailit,  misalnya  karena  sebab  
tertentu.  Maka  saya katakan bahwa kerugian seperti itu tidak membatalkan kaidah, 
walaupun  si  penabung  mengalami   kerugian   akibat   dari kepailitan   atau  
kebangkrutan  tersebut,  karena  hal  ini menyimpang  dari  kaidah  yang   telah   
ditetapkan.   Sebab tiap-tiap  kaidah ada penyimpangannya, dan hukum-hukum dalam 
syariat Ilahi  -demikian  juga  dalam  undang-undang  buatan manusia--  tidak  boleh
  disandarkan  kepada perkara-perkara yang ganjil dan jarang terjadi. Semua  ulama 
 telah  sepakat bahwa  sesuatu  yang  jarang  terjadi  tidak dapat dijadikan sebagai 
 sandaran  hukum,  dan  sesuatu  yang  lebih  sering terjadi  dihukumi sebagai hukum 
keseluruhan. Oleh karenanya, kejadian tertentu tidak dapat membatalkan  kaidah  
kulliyyah (kaidah umum).   Menurut  kaidah  umum,  orang  yang  menabung uang 
(di bank) dengan  jalan  riba  hanya  mendapatkan   keuntungan   tanpa memiliki  
risiko kerugian. Apabila sekali waktu ia mengalami kerugian, maka  hal  itu  
merupakan  suatu  keganjilan  atau penyimpangan  dari  kondisi  normal, dan 
keganjilan tersebut tidak dapat dijadikan sandaran hukum.   Boleh  jadi  saudara  
penanya  berkata,  "Tetapi  bank  juga mengolah  uang  para  nasabah, maka mengapa 
saya tidak boleh mengambil keuntungannya?"   Betul  bahwa  bank  memperdagangkan  
uang  tersebut,  tetapi apakah  sang  nasabah  ikut  melakukan aktivitas dagang itu. 
Sudah tentu tidak. Kalau nasabah  bersekutu  atau  berkongsi dengan  pihak  bank  
sejak  semula, maka akadnya adalah akad berkongsi, dan  sebagai  konsekuensinya 
 nasabah  akan  ikut menanggung  apabila  bank  mengalami  kerugian.  Tetapi pada 
kenyataannya,  pada  saat  bank  mengalami   kerugian   atau bangkrut,  maka  para  
penabung  menuntut  dan  meminta uang mereka, dan pihak  bank  pun  tidak  mengingkarinya.
  Bahkan kadang-kadang   pihak   bank   mengembalikan  uang  simpanan tersebut  
dengan  pembagian  yang   adil   (seimbang)   jika berjumlah banyak, atau 
diberikannya sekaligus jika berjumlah sedikit.   Bagaimanapun juga sang nasabah 
tidaklah  menganggap  dirinya bertanggung  jawab  atas  kerugian itu dan tidak pula 
merasa bersekutu  dalam  kerugian  bank  tersebut,  bahkan   mereka menuntut uangnya
 secara utuh tanpa kurang sedikit pun.
http://luk.staff.ugm.ac.id/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan Coretannya yang ditunggu untuk kebaikan bersama....