Ciri-ciri “orang yang diberikan pemahaman” di antaranya adalah: ia memiliki watak yang seimbang dan watak yang harmonis dan bahwa wataknya itu tidak digerakkan secara berlebihan oleh pendapat-pendapat yang parsial (ara juz’iyyah), tidak oleh pemikiran yang berlebihan sehingga ia ditarik dengan cara apapun dari yang universal kepada yang parsial, atau dari ruh kepada bentuk.
Di dalam dirinya juga tidak terdapat kebodohan berlebihan yang tidak dapat ditanggalkan untuk kemudian beranjak dari yang parsial menuju yang universal, dan dari bentuk kepada ruh. Ia adalah seorang yang sangat patuh menjalankan perbuatan-perbuatan yang mendapat petunjuk, memiliki tingkah laku yang baik di dalam perbuatan-perbuatan ibadah, dan adil dalam memperlakukan manusia.
Ia mencintai keteraturan alam semesta dan cenderung kepada kemaslahatan umum; tidak menyakiti seorangpun kecuali dalam suatu keadaan ketika kebaikan umum tergantung kepadanya atau ketika kemaslahatan umum memaksanya untuk menyakitinya. Ia tetap konsisten dalam kecenderungan kepada Yang Gaib. Pengaruh kecenderungannya ini dapat dilihat dalam perkataannya dan wajahnya, juga dalam semua wataknya, sehingga ia senantiasa mendapat pertolongan dari Yang Gaib. Perbuatan spiritual yang paling sedikit yang terbuka baginya adalah kedekatan kepada Allah dan ketenangan (sakinah) yang tidak tersingkapkan bagi orang lain.
Orang-orang “yang diberi pemahaman” (Mufahhamuun) ada beberapa macam dan kapasitas mereka berbeda-beda:
1. Orang yang mencapai kapasitas paling tinggi dalam menerima ilmu-ilmu dari Allah untuk memperbaiki jiwa dengan jalan beribadah. Orang seperti ini adalah “orang yang sempurna” (kamil).
2. Orang yang mencapai keadaan paling tinggi dalam menerima kebaikan-kebaikan yang diusahakan dan ilmu-ilmu tentang pengaturan urusan-urusan domestic dan sebagainya. Orang yang seperti ini adalah “orang yang bijaksana” (hakim).
3. Orang yang biasanya memahami kebijakan-kebijakan yang komprehensif, kemudian berhasil menegakkan keadilan di antara manusia dan membela mereka dari kezaliman. Orang yang seperti ini disebut “Khalifah”.
4. Orang yang telah mendapatkan kunjungan Dewan Malaikat Tertinggi, mendapatkan pengajaran mereka, berbicara dengan mereka, melihat penampakan mereka, dan orang yang mampu menjelmakan berbagai macam kemuliaan spiritual (karamat). Mereka ini dikenal sebagai “orang yang telah dibantu oleh ruh suci”.
5. Orang yang lidah dan hatinya telah disinari, sehingga manusia disekitarnya mendapat keuntungan dari perkumpulan yang ia selenggarakan dan dari khutbah-khutbahnya. Ia juga mampu mentransfer ketenangan dan cahaya kepada murid-murid dan sahabat-sahabatnya, sehingga mereka mencapai, berkat perantaraannya, tingkat kesempurnaan yang tinggi, sementara ia sendiri tidak pernah berhenti memberikan petunjuk dan bimbingan kepada mereka. Orang seperti ini disebut “pemberi petunjuk yang murni” (hadi muzakki).
6. Orang yang ilmunya terutama berisi pengetahuan mengenai peraturan-peraturan bagi masyarakat keagamaan serta berbagai keuntungan darinya, dan orang yang mendorong (mereka) untuk melakukan peraturan-peraturan itu. Orang seperti ini disebut “pemimpin” (imam).
7. Orang yang diberi ilham untuk memberitahu manusia mengenai bencana yang telah ditentukan bagi mereka di dunia ini, atau orang yang mengetahui bahwa Allah telah mengutuk suatu umat dan memberitahu mereka mengenai hal ini, atau yang melepaskan diri dari jiwa rendahnya pada waktu-waktu tertentu, sehingga ia mampu mengetahui apa yang akan terjadi di dalam kubur dan pada hari kiamat, dan yang memberitahu mereka mengenai hal-hal ini. Orang pada tingkatan ini disebut “pemberi peringatan” (mundzir).
8. Jika kebijaksanaan Ilahi mengharuskan bahwa orang “yang diberikan pemahaman” diutus kepada umat manusia, sehingga ia menjadi sebab bagi dikeluarkannya umat dari kegelapan ke dalam cahaya, maka Allah mengharuskan hamba-hambaNya untuk menerima orang ini, lahir dan batin. Dewan Malaikat Tertinggi akan merasa puas dan mendoakan kebaikan bagi orang-orang yang mengikuti dan menyertai dia, dan mereka menyediakan kutukan bagi orang-orang yang menentang dan menolaknya. Allah telah memberitahu umat mengenai hal ini dan membuat mereka mematuhinya. Orang yang seperti itu adalah “seorang nabi”. Tingkatan nabi yang terbesar adalah yang risalahnya mempunyai dimensi tambahan yang sesuai dengan tujuan Allah swt. Untuknya, yaitu bahwa ia harus menjadi sebab untuk dikeluarkannya umat “dari kegelapan kepada cahaya” dan bahwa umatnya menjadi “umat terbaik yang dikeluarkan bagi umat manusia”, sehingga risalah yang ia sampaikan harus dilengkapi dengan risalah tambahan.
Syah Waliyullah al-Dihlawi, Argumen Puncak Allah, Judul aslinya Hujjah Allah al Balighah pada Bab 55 Hakikat Kenabian dan Ciri-Cirinya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan Coretannya yang ditunggu untuk kebaikan bersama....