Memperhatikan keadaan ekonomi umat Islam tidak ubahnya seperti melihat sebuah lautan. Posisi ekonomi umat Islam dalam peta besar perekonomian ibarat riak-riak kecil di tepi pantai menghadapi gelombang besar di tengah samudera. Riak-riak kecil itu tetap ada namun senantiasa di pinggiran, tidak pernah mampu ke tengah. Secara ekonomi, umat Islam tetap eksis, namun senantiasa berposisi pinggiran (peripheral). Tidak pernah berhasil menonjol ke tengah, karena setiap kembali dihempas kembali ke tepian oleh gelombang besar yang datang dari tengah samudera.
Posisi ekonomi umat Islam bagaikan arus kecil di dasar laut, yang di atasnya merajalela badai besar. Tidak pernah mencuat ke atas atau ke permukaan. Setiap kali ditenggelamkan ke dasar oleh badai yang menggulung di atasnya. Begitulah kira-kira ‘nasib’ ekonomi umat Islam dewasa ini. Tidak saja dalam peta perekonomian sejagat, tapi juga dalam peta perekonomian di tanah air.
Dengan mudah dapat disaksikan, sekaligus dirasakan, betapa umat Islam—yang merupakan mayoritas penduduk negeri ini—pada umumnya secara ekonomi berada pada posisi yang memprihatinkan. Atau dalam istilah yang lebih halus: tingkat kekayaan umat Islam tergolong rendah.
Rendahnya tingkat ekonomi umat bisa dilihat dari fakta begitu banyaknya orang yang masih tinggal di kolong jembatan, sepanjang tepi rel kereta api, bahkan kuburan, dengan kondisi mengenaskan. Ini baru secara penglihatan sekilas. Bila kita melihat secara statistik, akan lebih mengejutkan lagi. Misalnya, di Provinsi DKI Jakarta saja, tercatat total keluarga miskin pada tahun 2009 mencapai 165.889 rumah tangga. Wilayah terbanyak yaitu Jakarta Utara mencapai 50.291 rumah tangga, disusul Jakarta Timur 46.908 rumah tangga, Jakarta Barat sebanyak 33.588 rumah tangga, lalu Jakarta Pusat 24.921 rumah tangga, Jakarta Selatan 9.608 rumah tangga, dan paling kecil ada di kepulauan Seribu yang mencapai 573 rumah tangga.
Ini baru di Jakarta. Apabila kita melihat data statistik secara keseluruhan, maka akan kita dapati bahwa jumlah orang miskin di Indonesia telah mencapai sekitar 31 juta orang. Namun harus diingat bahwa angka itu bukanlah jumlah orang miskin biasa, tetapi sangat miskin, yang kalau diukur dengan rupiah mereka itu hanya hidup dengan uang sekitar Rp 230.000 per bulan. Uang sebesar itu agak lebih besar sedikit di atas standar Badan Pusat Statistik (BPS) yaitu Rp 211.726 per bulan. Akan tetapi, kalau kita memakai standar Bank Dunia yang sebesar US$2 per hari, maka jumlah orang miskin di Indonesia bisa melonjak sampai 120 juta jiwa! Ini baru dari sisi pendapatan. Bagaimana kalau diukur dengan pendekatan Islam yang menjadikan ketidakmampuan dalam mencukupi kebutuhan sebagai parameter dalam mengukur kemiskinan ? Tentu jumlahnya akan menjadi jauh lebih besar lagi.
Gagalnya Pengentasan Kemiskinan
Semakin melonjaknya jumlah orang miskin di Indonesia bermula dari diterimanya agenda IMF secara massif pada tahun 1997. Pada saat itu, Indonesia menghadapi krisis ketidakpastian (uncertainty) dan ketidakpercayaan (distrust). Menyusul kemerosotan nilai tukar rupiah, inflasi tertingi saat krisis tahun 1998, hingga 78 persen. Pemerintah Indonesia kemudian secara resmi mengundang IMF untuk memulihkan perekonomian Indonesia. Sebagai syarat untuk mencairkan dana talangan yang disediakan IMF, pemerintah Indonesia diwajibkan melaksanakan paket kebijakan Konsensus Washington melalui penandatanganan Letter of Intent (LoI), yang salah satu butir kesepakatannya adalah penghapusan subsidi untuk bahan bakar minyak, yang sekaligus memberi peluang masuknya perusahaan multinasional seperti Shell. Begitu pula dengan kebijakan privatisasi beberapa BUMN, seperti Indosat, Telkom, BNI 46, PT Tambang Timah, Aneka Tambang, dan lain-lain.
Keadaan kemudian menjadi lebih parah lagi, terutama setelah pemerintah menerapkan kebijakan uang ketat (tight money policy) dengan menaikkan suku bunga setinggi-tingginya, untuk mencegah pelarian modal. Memang modal tak jadi lari, tapi juga tidak bisa dimanfaatkan untuk memutar roda ekonomi. Sebagian besar mengendap di Bank atau Sertifikat Bank Indonesia dan menjadi beban baru. Akibatnya uang beredar menjadi sedikit. Bank mengalami ‘negative spread’—tak berani mengeluarkan kredit ke dunia usaha. Sektor riil mati suri. Banyak perusahaan tak mampu lagi membiayai operasional dan terpaksa melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK). Keadaan ini secara simultan menciptakan kesengsaraan di kalangan rakyat banyak, di samping frustasi dan putus asa. Akibatnya ratusan ribu orang kehilangan pekerjaan. Sementara angkatan kerja baru bahkan yang baru lulus dari Perguruan Tinggi, tak bisa diserap. Indonesia tiba-tiba kebanjiran sekitar 20 juta penganggur baru.
Demikianlah gambaran singkat mengenai penyebab lonjaknya orang miskin yang kemudian tidak bisa diselesaikan hingga hari ini. Krisis moneter yang secepatnya berubah menjadi krisis ekonomi yang telah berlangsung hingga saat ini betul-betul membawa pengaruh yang sangat buruk bagi kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Puluhan juta orang terpaksa hidup dalam kemiskinan. Belasan juta kehilangan pekerjaan. Jutaan anak harus putus sekolah. Jutaan lainnya mengalami malnutrisi.
Hidup semakin tidak mudah dijalani, sekalipun untuk sekedar mencari sesuap nasi. Beban kehidupan bertambah berat seiring dengan kenaikan harga-harga akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan. Bagi mereka yang lemah iman, berbagai kesulitan yang dihadapi itu dengan mudah mendorongnya untuk melakukan tindak kejahatan. Berbagai bentuk kriminalitas—mulai dari pencopetan, perampokan maupun pencurian dengan pemberatan serta pembunuhan dan perbuatan tindak asusila, budaya permisif, pornografi dengan dalih kebutuhan ekonomi terasa—semakin meningkat tajam.
Meskipun pemerintahan reformasi telah berjalan sekian tahun dengan pergantian kekuasaan yang sedemikian seringnya, tetapi kesejahteraan tidak jua didapat dan krisis ekonomi semakin lama semakin menggurita. Mengapa semua ini bisa terjadi?
Kegagalan Kapitalisme
Beberapa kalangan memandang kebijakan neoliberalisme sebagai sumber dari bencana ini. Alasan mereka, mekanisme pasar yang diagung-agungkan oleh mazhab neoliberal yang merupakan keturunan dari kapitalisme itu sesungguhnya tidak selamanya bekerja otomatis berdasarkan prinsip-prinsip efisiensi. Struktur pasar mengandung elemen-elemen kekuatan ekonomi-politik yang monopolistik terutama dari korporasi besar. Kekuatan monopolistik sangat determinan dalam kaitan dengan permintaan dan penawaran, sekaligus penetapan harga barang sehingga pasar bekerja atas kontrol para pemilik modal.
Karena alasan inilah mengapa bisa muncul fenomena dominasi para pemilik modal; perbudakan dan pemangsaan kalangan konsumen oleh kalangan produsen, khususnya pemilik perusahaan besar, serta monopoli ekonomi oleh negara-negara kapitalis yang menghambat kemajuan industrialisasi negara-negara dunia ketiga.
Mengapa mereka begitu tega memonopoli keuntungan perekonomian sehingga sebagian besar harta tersimpan di kantung-kantung mereka dan karenanya dunia mengalami kesenjangan?
Jawabnya, karena kapitalisme memandang bahwa kebahagiaan itu adalah dengan memperoleh sebesar-besarnya kesenangan yang bersifat jasmaniah (al-sa’âdah hiya al-akhdzu bi akbar nashîb min al-muta’ al-jasadiyyah). Dan karena bagi kapitalis kebutuhan manusia itu tidak terbatas , maka konsekuensinya adalah mereka pun harus berlomba di dalam mengumpulkan kekayaan sebanyak mungkin sehingga bisa dipergunakan untuk membeli kebutuhan-kebutuhan mereka yang tidak terbatas itu. Dengan cara itulah mereka berharap bisa meraih kebahagiaan, yang pada kenyataannya justru malah mengorbankan kesejahteraan yang merata dan kebahagiaan sesama.
Solusi: Sistem Ekonomi Sosialis?
Lalu bagaimana dengan sistem ekonomi sosialis? Apakah ia bisa menjaid solusi atas kekacauan ekonomi yang ditimbulkan oleh sistem kapitalis? Jawabnya, tentu saja tidak. Alasannya, sosialisme yang muncul belakangan setelah kapitalisme saja justru telah runtuh lebih dahulu, dan meskipun saat ini China yang menganut sistem politik sosialis-komunis itu sedang ‘berjaya ekonominya’ , tetapi dari segi sistem ekonomi ia tidak memakai sosialisme, tetapi menganut sistem ekonomi kapitalis negara.
Hal ini dikarenakan sistem ekonomi sosialis memang tidak lebih baik dari sistem ekonomi kapitalis. Sebagai bukti historis, Presiden Soekarno yang menerapkan sistem ekonomi sosialis yang disebutnya sebagai Ekonomi Terpimpin itu pun nyatanya gagal dalam memberikan kesejahteraan Indonesia pada masa Orde Lama. Dengan penerapan sistem ekonomi sosialisme, yang terjadi justru rakyat semakin miskin, banyak pengangguran, inflasi sangat tinggi dan rendahnya pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sosialisme pun tidak bisa menjadi harapan solutif bagi krisis ekonomi di Indonesia saat ini. Lalu bagaimana dengan Islam?
Pengalaman Islam
Karena kedua sistem ekonomi yang disinggung sebelumnya jelas tidak mampu menjawab tantangan ekonomi di zaman sekarang , lalu bagaimana dengan sistem ekonomi Islam? Jawabnya, tentu saja. Alasan secara spesifik tidak bisa penulis sampaikan di sini. Namun sebagai argumentasi ‘kecil’ betapa Islam akan mampu menyelesaikan krisis ekonomi bisa dilihat dari sebuah perbandingan berikut ini.
Di masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khaththab ra, gaji guru di Madinah adalah sebesar 15 dinar (1 dinar = 4,25 gram emas). Jika 1 gram emas saat ini seharga Rp 200 ribu, berarti pada masa itu gaji seorang guru mencapai sekitar 12,75 juta per bulan. Bandingkan dengan tunjangan guru di Indonesia—meski sudah minim, bahkan banyak yang honornya lebih rendah dari buruh pabrik —pembayarannya terlambat pula dan jumlahnya kerap dipotong.
Dari aspek ini saja sudah terlihat jelas betapa sistem ekonomi Islam mampu menjamin terpenuhinya kebutuhan masyarakat, yang itu terlihat dari gaji guru yang begitu besar. Dengan gaji sebesar itu, tentu para guru akan mudah memenuhi kebutuhannya sehingga mereka bisa berkonsentrasi di dalam melakukan kegiatan-kegiatan pengembangan ilmu seperti penelitian, melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, dan penulisan karya ilmiah.
Pendek kata, apabila gaji guru di masa sekarang sama dengan masa itu, niscaya akan banyak bermunculan guru-guru yang berkualitas, bergelar doktor, dan pakar di bidangnya. Namun, apabila gaji guru tetap seperti sekarang, maka jangan pernah berharap dunia pendidikan akan maju dan mampu menghasilkan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas. SDM berkualitas karena pendidikan yang berkualitas, dan itu bermula dari makmurnya kehidupan ekonomi para guru dan anak didik. Hanya sistem ekonomi Islam sajalah yang mampu mewujudkan semua itu; berlawanan dengan hasil-hasil yang telah dicapai oleh sistem ekonomi sosialis maupun sistem ekonomi kapitalis.
Penutup
Dengan membandingkan potret gaji guru saja sudah menampakkan suatu hal di mata kita, yaitu betapa sistem ekonomi Islam adalah solusi konkrit bagi permasalahan ekonomi yang ada sekarang. Dengan melihat dampak nyata dari penerapan masing-masing sistem ekonomi, kita akan bisa mengukur perbedaan kualitas dari masing-masing sistem. Dan perbandingan di atas telah membuktikan bahwa Islam telah mengungguli kesemuanya dalam menjawab tantangan ekonomi setiap zaman, yaitu menjamin pemenuhan kebutuhan primer setiap individu, dan memberi peluang bagi pemenuhan kebutuhan-kebutuhan sekundernya sesuai dengan kadar kemampuannya sebagai individu yang hidup dalam suatu masyarakat dengan gaya hidup tertentu. Keberhasilan Islam dalam hal ini, selain karena pandangannya yang tepat mengenai politik ekonomi, juga karena keberadaannya yang berasal dari wahyu Allah SWT, serta penerapannya yang sesuai dengan syariah.
Oleh karena itu, satu-satunya jalan keluar dari situasi perekonomian yang memprihatinkan dewasa ini adalah dengan menghadirkan kembali sistem ekonomi Islam dalam kehidupan. Karena ia membutuhkan institusi Khilafah sebagai wadah penerapannya, maka tiada jalan lain bagi kita saat ini, selain menyebarkan secara massif ide sistem ekonomi Islam, juga berusaha sekuat tenaga dalam menegakkan Khilafah dengan mengikuti metode rasulullah saw. Inilah satu-satunya jalan yang harus diikuti oleh stiap pegiat ekonomi Islam—tiada jalan lain—dan hanya kepada Allah sajalah kita memohon pertolongan. Wallâhu a’lam bi al-shawâb. (http://dakwahkampus.com/;Adnan Syafi’I, BKLDK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan Coretannya yang ditunggu untuk kebaikan bersama....