Pemerintah menuai hujatan karena tak mampu mengendalikan stok serta
harga kedelai. Akibatnya, perajin tahu dan tempe mogok produksi selama
tiga hari. Makanan sehari-hari rakyat Indonesia itu pun jadi langka.
Masalah
kedelai bukan masalah baru. “Lubang besar” krisis kedelai telah
menganga sejak pertengahan dekade 1990-an. Dan setelah hampir dua
dekade, kita selalu jatuh pada lubang yang sama.
Ada peristiwa
apa gerangan di pertengahan dekade 1990-an itu? Sekitar tahun 1995,
pemerintah mulai intens membuka keran impor. Tren ini lalu berlanjut dan
akhirnya memuncak pada tahun 1998. Tarif masuk kedelai dipatok nol
persen, alias bebas bea — persis seperti solusi jangka pendek pemerintah
di pertengahan 2012 ini.
Bedanya, saat itu kita masih getol
memproduksi kedelai. Di tahun 1995, Indonesa tercatat bisa memproduksi
sekitar 1,6 juta ton kedelai (dari kira-kira kebutuhan 2 hingga 2,2 juta
ton). Dulu kita cuma impor 600 ribu ton per tahun.
Sekarang yang terjadi kebalikannya: kita produksi hanya sekitar 600 ribu ton dan harus mengimpor 1,6 juta ton.
Indonesia
bergegas mengintegrasikan pasarnya melalui perdagangan bebas
multilateral Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) sejak 1995. Untuk ini,
kita harus rela memangkas bea masuk. Kedelai tak luput: kita cuma bisa
pertahankan bea masuk sekitar 30 persen saja.
Namun pemerintah
kebablasan. Mengambil langkah mudah untuk stok, kita terus memangkas bea
masuk kedelai demi harga murah. Sejak kedelai impor masuk via
perdagangan bebas, stok dan harga kedelai lokal pun tertekan. Pemerintah
tak awas soal ini, dan keadaan makin memburuk saat Indonesia
tercemplung ke dalam krisis moneter 1997.
Saat itu resep Dana
Moneter Internasional (IMF) adalah membebaskan banyak bea masuk
komoditas. Inilah tonggak saat Indonesia mulai besar-besaran mengimpor
kedelai.
Akhirnya, produksi lokal jadi tak atraktif karena babak
belur dihajar impor. Siapa yang mau menanam kedelai jika harus dihargai
lebih rendah dari kedelai impor (yang harganya ditekan rendah itu)?
Sebagai contoh, kedelai impor mayoritas datang dari Amerika Serikat. Di
sana, produksi dijalankan secara masif. Dan ada berbagai skema untuk
menyubsidi pertanian besar, agar terus berjaya menguasai stok dan harga.
Lubang
yang menganga lebar tersebut harus segara ditutup, agar kita tak
terus-terusan terjerumus. Saat ini solusi jangka pendek yang diambil
untuk memenuhi stok sama seperti tahun 1998. Namun untuk jangka
menengah, bolehlah pemerintah mengkaji agar tarif kedelai secara gradual
ditingkatkan jika stok sudah mulai stabil.
Wacana selanjutnya
yang beredar adalah menggunakan Badan Usaha Logistik sebagai buffer
stock — badan ini akan membeli kedelai petani ketika stok melimpah, dan
menjualnya ketika stok menipis. Ini untuk menangkis agar harga tak
melulu dikuasai pasar apalagi digunakan untuk spekulasi. Sebab, saat ini
lima perusahaan importir kedelai (Cargill Indonesia, Gerbang Cahaya
Utama, Teluk Intan, Gunung Sewu dan Sekawan Makmur Bersama) seakan
memegang kendali harga.
Tudingan ini setidaknya terbukti saat
harga kedelai meroket dua tahun silam. Cargill Indonesia tertangkap
tangan menimbun stok si kacang bulu di Surabaya.
Menutup lubang
saja jelas tak cukup. Produksi lokal harus digenjot. Walau kedelai yang
dibutuhkan untuk konsumsi adalah yang putih (Glycine max), yang notabene
sulit ditanam di Indonesia karena aslinya tanaman subtropis, kita
hampir tak punya pilihan lain karena memang butuh.
Sejarah telah
menuliskan setidaknya kita pernah mencapai produksi hampir 2 juta ton.
Kita tinggal menemukan formula agar menanam kedelai menjadi atraktif
bagi petani, bukan sekadar tanaman sela. Insentif perlu dipandu
pemerintah, mulai dari asuransi harga, benih unggul hasil pemuliaan
lokal hingga dukungan sarana produksi — bahkan teknologi tepat guna
untuk kedelai.
Ada juga masalah akut lain untuk menggenjot
produksi, yakni pada ketersediaan lahan. Seharusnya pemerintah tak perlu
galau tentang ini, karena sudah memiliki solusinya sejak 2006. Yakni,
Program Pembaruan Agraria Nasional untuk redistribusi tanah yang
diluncurkan Presiden SBY. Tinggal masalah koordinasi kementerian terkait
dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Sayangnya, program
redistribusi tanah ini pun mandek. Pemerintah menggali lubang baru
dengan tak cepat bergerak. Padahal program inilah yang ditunggu-tunggu
serta menjadi harapan besar bagi rakyat pedesaan dan petani. Karena
selain bisa menggenjot produksi, redistribusi tanah kepada rakyat miskin
juga mengatasi masalah pengangguran dan kemiskinan--juga mengatasi
konflik agraria yang saat ini marak di seantero nusantara.
Sepertinya
dalam jangka waktu pendek, masalah kedelai ini relatif bisa teratasi.
Namun untuk jangka menengah dan panjang mungkin akan menjadi pertanyaan
besar. Ini negeri kebijakan jangka pendek, dan komitmen politik untuk
membangun sektor pangan dan pertanian bisa pupus (atau berganti haluan
kebijakan), terutama pada 2014.
Mengingat lubang yang masih
menganga lebar (kurangnya perlindungan, harga kurang atraktif untuk
produksi lokal, kurang kemauan politik), maka kemungkinan besar kita
akan terus terjerembap.sip
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan Coretannya yang ditunggu untuk kebaikan bersama....