11 Jun 2011

Alam Yang Selalu Tampil Beda....di Yogyakarta

Hijaunya Wonosari Birunya Arjuno image

Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa kawasan Malang dan sekitarnya merupakan daerah yang kaya objek wisata di Jawa Timur. Sebut saja Candi Singosari, Pulau Sempu, Peziarahan Gunung Kawi, Air Terjun Pujon, dan Waduk Karangkates.

Itu belum termasuk objek wi­sa­­ta di kota Batu yang hanya 15 km dari pusat Kota Ma­lang. Kota Malang sendiri merupakan kota tua yang sangat nyaman untuk dikunjungi.
Di antara semua itu ada satu destinasi cukup berkesan di hati, mes­ki belum sepopuler objek wisata lain. Tempat itu ialah Agrowisata Kebun Teh Wonosari. Letaknya di kaki Gunung Arjuno yang bisa dicapai dari Lawang, Malang sebelah utara. Lokasinya sejuk, tenang, dan relatif tidak seramai destinasi lain, misalnya jika dibandingkan dengan Pemandian Selekta, Batu.
Ketika berkunjung ke Malang belum lama ini, saya bersama rombongan memulai perjalanan dari Kepanjen yang berada di selatan Kabupaten Malang. Kami mesti melewati Kota Malang untuk mencapai Lawang. Tapi kami tak mampir di kota sejuk itu, sebab sudah siang, dan kami pun sudah menyusun rencana untuk mampir saat pulang.
Sekitar satu jam menyusuri jalan Malang-Surabaya, kami sampai di Singosari. Dari sana, ada jalan bersimpang ke kiri, tepatnya ke pebukitan Lawang. Jalanannya berliku, sempit dan bertanjakan tajam. Tak jarang kami berpapasan dengan bus pariwisata berukuran besar. Alhasil, perjalanan sepanjang 8 km itu cukup mendebarkan. Oya, bagi yang tidak membawa kendaraan sendiri, tersedia jalur angkutan umum Lawang-Wonosari dengan tarifnya Rp 3.000/orang. Jika datang berombongan, bisa mencarter mikrolet dari Terminal Lawang, sekitar Rp 25.000 sekali jalan.
Perjalanan terasa berbeda ketika makin ke atas, udara terasa makin dingin menerpa kulit. Kami membuka kaca mobil lebar-lebar dan mengisi paru-paru dengan udara gunung yang bersih. Kebun buah naga milik penduduk tampak mulai berbuah dan sebagian sudah dipanen. Betapa menggembirakan: di daerah sejuk begini, villa-villa dan rumah mewah tak mencolok mata, untuk mengatakannya sedikit. Setidaknya jika saya banding-bandingkan misalnya dengan daerah pebukitan sekitar Bandung yang diserbu para pengembang yang membangun villa-villa mewah.
Sebelum sampai ke gerbang utama Agrowisata Wonosari, kami dipungut restribusi jalan sebesar Rp 1.000 oleh petugas LPMD Desa Ketindan. Barulah ketika hendak memasuki kawasan PTPN XII kami membayar karcis Rp 7.500/orang. Begitu mobil parkir, kami segera berhamburan ke luar menikmati kesegaran alam. Kesegaran pertama jelas dari cuacanya yang sejuk (19-26 derajat Celsius), maklum terletak antara 950-1.250 di atas permukaan laut (dpl). Kesejukan berikutnya berasal dari kehijauan pohon-pohon, aneka bunga, bahkan rumput di tepi jalan. Ada juga deretan cemara yang pucuknya runcing menusuk langit. Semuanya hijau berseri.
Kami tidak langsung menuju kebun teh, melainkan mampir di pabrik pengolahannya terlebih dulu, takut sudah tutup kalau kesorean. Sayang, kami tetap tidak diizinkan masuk dengan alasan waktu berkunjung ke pabrik sudah habis. Biasanya, setiap rombongan yang masuk dipungut Rp 50.000 dengan anggota rombongan sekitar 10-12 orang. Akhirnya, kami harus puas menikmati aktivitas penimbangan daun teh yang dilakukan sejumlah karyawan di pintu gudang pabrik. Daun teh yang berada dalam karung nilon itu, dicatat jumlah beratnya, lalu ditaruh di atas lori gantung yang berputar membawanya masuk ke dalam pabrik untuk selanjutnya diproduksi menjadi teh kemasan dengan merk dagang ”Teh Rolas”.
***
SETELAH puas menikmati aktivitas penimbangan daun teh, kami menuju areal perkebunan teh. Kami melewati rumah-rumah dinas karyawan perkebunan Persero milik negara yang berkesan damai itu. Tidak jauh dari situ, terdapat taman yang luas, dilengkapi berbagai fasilitas seperti kolam pemandian air panas dan permainan anak. Ada pula penyewaan kendaraan berupa trailer antik, untuk mengelilingi perkebunan. Ongkosnya Rp 20.000 sekali jalan. Pilihan lainnya adalah naik kuda dengan ongkos Rp 15.000 sekali jalan. Atau bisa pilih angkutan massal, yakni kereta kelinci, yang memutari kawasan perkebunan dengan sirinenya yang khas. Kami berjalan kaki saja, sebab dalam cuaca dingin begini lumayan memperlancar aliran darah.
Sekitar 100 meter berjalan, akhirnya kami disambut tanaman teh yang tingginya sama rata. Menghampar luas seolah karpet hijau menyelimuti perbukitan. ”Karpet hijau” itu tampak mengikuti kontur tanah yang bergelombang, membuat pemandangan tidak monoton. Mata diajak mengembara mengikuti lekak-lekuknya, sehingga imajinasi terasa ikut naik-turun diayun ”gelombang hijau” yang lembut. Imajinasi kian melambung saat mata tanpa terasa masuk ke ”gelombang biru” berupa lereng dan puncak gunung. Ya, Gunung Arjuno setinggi 3339 M-dpl itu memang menjadi latar yang anggun bagi Kebun Teh Wonosari.
Belum habis rasa takjub diaduk kehijauan tanaman teh, kami sudah pula dipukau birunya puncak Arjuno. Puncak itu terasa dekat, seolah dapat digapai, meski tentu saja tidak dapat kami sentuh. Sayang, awan putih-kelabu cukup tebal menyelimuti sebagian pundak gunung, pertanda mendung. Hujan memang sering turun di sana, karenanya beberapa di antara kami sudah sejak tadi mengepit payung. Tapi, sebelum hujan benar-benar turun, masih cukup waktu menikmati puncak Arjuno yang tetap terbuka, menantang. Puncak biru dan pundak yang diselimuti awan kelabu memberi gradasi unik bagi warna hijau kebun teh Wonosari. Jadilah saya merapal kata-kata,”Hijaunya Wonosari, birunya Arjuno, menyatu sejodoh menenteramkan hati, hmm...”
Cukup lama kami larut dalam kedamaian, diiringi kicau burung dari atas pepohonan, sebelum akhirnya kami melanjutkan penyusuran. Kami ikuti sebuah jalan aspal yang cukup lebar membelah hamparan kebun. Di kiri-kanannya tumbuh subur pohon sengon dan lamtoro. Beberapa jenis bunga tumbuh teratur di tepi jalan, menambah asri suasana. Tak jarang kami berpapasan dengan pengunjung yang memilih naik kuda dan sebagian naik kereta kelinci. Rombongan anak-anak, juga orang tua mereka serta pasangan remaja, tampak ceria di atas kereta mini itu. Saya mencari-cari perempuan pemetik teh, sayang tak seorang pun yang terlihat. Kepada seorang petugas yang sedang membersihkan kandang kuda, saya bertanya kenapa. Ternyata karena hari sudah sore. Jadwal memetik teh, katanya, dimulai pukul 7 pagi dan selesai pukul 2 siang. ”Hari Minggu libur,” jelasnya ramah.
Dia malah mengajak kami melihat tandon penampung air hujan cukup besar di bawah tanah. Airnya dipakai untuk berbagai keperluan. Lumayan, hati jadi sedikit terhibur. Akhirnya kami duduk-duduk di atas sebuah batu besar di tepi jurang yang sekaligus melempangkan panorama cantik ke arah kota dan perkampungan di bawah sana.
Setelah puas bercengkerama, kami berangsur turun ke tempat parkir. Namun tunggu dulu! ”Perut sudah pegal nih!” seru seorang teman serombongan. Kami bergerak cepat ke kompleks kedai, dekat taman bermain. Kopi, mie rebus, dan jagung bakar, cukuplah....(73)

Minim Informasi

DI tengah hamparan kebun teh, ada sebuah plang dari papan, dengan tiga permukaan dilapisi seng bercat biru-putih. Setiap permukaan ditulisi keterangan tentang riwayat singkat kebun teh dalam sejumlah bahasa. Ada bahasa Inggris, Belanda, Indonesia, bahkan bahasa Jawa, lengkap dengan aksaranya.
Dalam bahasa Belanda tertulis,”De aahplanting thee het berste begin op deplantage Wonosari in 1910 door N.V. Cultuur Matschapy Lawang. Yang tak bisa berbahasa Belanda, cukuplah membaca tulisan bahasa Indonesia­nya: ”Teh ini pertama kali ditanam pa­da tahun 1910 oleh N.V. Cultur Masca­pay Lawang.”
Hmm, cukup tua dan pastilah me­nyim­pan banyak sejarah. Dari seorang pengelola warung di sekitar situ, saya mendapat cerita bahwa pada zaman Jepang (1942-1943), kebun itu pernah ditanami singkong untuk kebutuhan pangan militer. Bahkan jauh sebelum itu, tanaman teh pernah diganti dengan kina. Saya pun membayangkan para pemetik teh, buruh pabrik serta hubungannya dengan mandor dan kekuasaan. Sayang, tidak ada brosur penjelas kesejarahan itu lebih lanjut.
Ungkapan ”sayang” memang berulang kali terlontar dari mulut kami saat berbicara mengenai Kebun Teh Wono­sari ini. Salah satunya karena tak ada aktivitas perkebunan pada hari Minggu, baik aktivitas memetik teh mau­­pun kegiatan pabrik. Padahal, Minggu merupakan puncak kunjungan wisatawan (kebanyakan lokal) yang datang berombongan dengan keluarga. Akibatnya, banyak yang kecewa karena tak bersua aktivitas memetik teh, apalagi melihat proses mengolah daun ajaib itu menjadi produk konsumsi.
Sebagai tempat yang sudah secara sadar menjadi pusat agrowisata, keluhan tersebut tentu wajar. Artinya, pengunjung ke sana tidak hanya untuk menikmati keelokan perkebunan, namun juga untuk menambah pengetahuan, khususnya mengenai seluk-beluk produksi teh. Apakah mungkin mengganti hari libur? Entahlah.
Saat kami berkunjung, hari itu bukanlah hari Minggu. Meski begitu, kami tetap kecewa karena tak bisa langsung menyaksikan aktivitas pabrik. Alasannya, kedatangan kami setelah jam yang dijadwalkan untuk berkunjung. Sistem yang berkesan ”kaku” itu mungkin perlu diimbangi dengan sedikit kompromi, sebab di samping pengumuman soal jadwal tidak terlalu jelas, belum tentu juga kami datang dalam waktu dekat lagi. Begitu pula saat ingin membeli atau sekadar melihat-lihat produk teh di sebuah bangunan khusus, kami hanya bisa menyaksikan bungkus-bungkus teh dari balik kaca etalase. Sebab pintunya terkunci dan penjaganya entah ke mana.
Kata ”sayang” yang lain mungkin dapat ditujukan pada kekurangan informasi soal fasilitas dan potensi wisata kawasan ini. Tidak ada pemandu, brosur atau papan petunjuk. Saya sempat penasaran ingin tahu, apakah dari sini ada jalur pendakian ke Gunung Arjuno. Informasi yang lumayan banyak baru bisa diperoleh kalau seseorang mau browsing di internet. Ternyata, kawasan seluas 1.144,31 hektare itu kaya potensi dan fasilitas. Selain memiliki taman bermain anak dan kolam air panas, juga tersedia ada lokasi outbond, tempat berkemah, penginapan (homestay), minimarket, kebun binatang mini, kebun ceri, jalur sepeda gunung, dan jalur pendakian ke Arjuno serta aula pertemuan.
Tempat itu pun berpotensi jadi ajang praktik dan penelitian mahasiswa atau para peminat teh. Bisa pula mengembangkan wisata satwa dan flora, seperti pengamatan burung atau aneka bunga. Bahkan beberapa jurang saya bayangkan sangat menantang untuk wisata terbang layang (gantole). Tantangan itu sekaligus tertuju kepada pihak PT Perkebunan Nusantara (PTPN) XII sebagai pengelola Agrowisata Kebun Teh Wonosari. Dan saya percaya, mereka bisa.(73)


http://suaramerdeka.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan Coretannya yang ditunggu untuk kebaikan bersama....