OLEH : IDRIS NAWAWI
Seperti apakah wasiat gaib itu?
Siapa pula yang harus melaksanakannya? Dan, bagaimana dengan penilaian
para kyai khosois yang mendapat kabar baik dari HM. Soeharto, beberapa
saat setelah almarhum meninggal dunia…?
Minggu (27/01) siang nan cerah itu dia
berpulang ke hadapan Sang Maha Pemberi Kehidupan. Pada usianya yang 87
tahun Juni nanti. K0epulangannya tidak hanya meninggalkan enam anak dan
belasan orang cucu. Tapi, Pak Harto juga meninggalkan berbagai macam
kontroversi ikhwal dirinya di masyarakat.
Begitu banyak orang yang memujanya, namun tak sedikit pula yang mencelanya. Banyak pula jasanya bagi negeri ini, tapi tak sedikit pula celanya ketika dia berkuasa. Sang Jenderal Besar ini memang punya peran sejati yang seakan tak pernah tuntas terjawab. Bahkan hingga ajal menjemputnya.
Begitulah sosok HM. Soeharto yang selama 32 tahun menggenggam republik dalam kekuasaannya. Selama itu pula nyaris tak ada cela pada dirinya. Semua tertutup begitu rapat. Penulis Belanda, O.G. Roeder, menyebutnya The Smiling General, jendral yang selalu tersenyum. Seperti kebanyakan orang Jawa, paras Soeharto memang selalu nampak tersenyum, bahkan ketika dia sedang menahan amarah sekalipun. Inilah salah satu kelebihannya.Lengsernya Soeharto pada 21 Mei 1998 seakan menjadi sebuah pertanda yang sangat buruk. Berbagai hujatan dan catatan kelam pemerintahannya meradang bagai kanker stadium empat. Hal ini seakan-akan mengubur semua jasa-jasanya selama memimpin Orde Baru.
Mengiringi kejatuhannya yang begitu dingin, pergunjingan tentang berapa banyak harta anak-anak Soeharto seakan-akan menjadi menu harian bagi rakyat negeri ini. Banyak yang kesal dan menjadikan Soeharto sebagai bulan-bulanan, Belum lagi soal pelanggaran HAM, korupsi dana yayasan, juga sederat soal lainnya, yang nyata menuding Soeharto sebagai dalang di balik semua kebobrokan itu.
Semua itu menjadi masalah hukum yang sulit untuk diselesaikan. Kontroversi pun terus saja berlanjut. Bahkan, hingga malaikat maut menjemputnya ke haribaan Illahi.
Warna-warni perjuangannya dalam membangun bangsa dan negara, terkikis di penghujung hayatnya. Bahkan di saat, detik-detik terakhir tutup usia, pro dan kontra terus mengalir silih berganti.
Kini, dengan meninggalnya HM. Soeharto, apa masalah hukumnya, khususnya hukum perdata, apa akan berakhir pula? Tentu jawabannya adalah tidak. Masalah ini akan terus mengakar tanpa pasri di titik mana ujungnya akan berakhir.
Tulisan ini, sesungguhnya tidak bermaksud mengkaji mengenai almarhum Pak Harto dari sisi fisik atau lahiriyah. Lewat tulisan ini, saya (Penulis) semata-mata hanya ingin membeberkan sebuah perkara berdimensi gaib, yang memang erat hubungannya dengan almarhum. Khususnya, mengenai keberadaan “pusaka” gaibnya. Karena itulah, saya memberanikan diri memberi judul tulisan ini dengan “Wasiat Gaib Almarhum Pak Harto.”
Berupa apakah pusaka gaib tersebut? Siapa pula yang harus melaksanakan wasiat gaib almarhum? Dan, bagaimana dengan penilaian para kyai khosois sendiri yang mendapat kabar baik dari HM. Soeharto, beberapa saat setelah almarhum meninggal dunia?
Tanpa bermaksud menebar sensasi, inilah kisah sesungguhnya yang saya alami selama beberapa waktu, baik sesudah maupun setelah wafatnya Pak Harto….
Tepatnya selasa dini hari, 29 Januari 2008, dua hari setelah HM. Soeharto meninggal dunia, saya bermimpi bertemu dengan beliau di sebuah istana yang sangat indah. Di hadapan saya, wajah Pak Harto tampak bercahaya. Begitu pun dengan koko putih yang dikenakannya juga benderang bagaikan pualam. Pak Harto terus tersenyum sambil melemparkan beberapa beras mutiara untuk puluhan ayam yang semuanya berwarna putih bersih.
Sesudah itu, Pak Harto mendekatiku dan berucap, “Ya Salam…Ya Salam.. An dzoh dotil qubri wal malaikatani biidznillahi. Addarojatul a’la mindarojatil qubri…amin (sesungguhnya aku selamat…selamat dari impitan bumi yang sangat mengerikan, selamat pula dari pertanyaan kedua malaikat ahli kubur…semua ini karena kefadholan dari Allah SWT. Selamatnya aku dari siksa kubur, semua karena rahmat yang diberikan oleh manusia hidup atas hujatannya hingga dosa yang kupikul selama hidup di dunia, perlahan-lahan sirna…amin).”
Sambil masih tersenyum, Pak Harto tambah mendekatiku, lalu membuka telapak tangannya. Pada telapak tangan itulah saya melihat ada dua butir batu permata yang bersinar merah benderang, sehingga aku meyakinya sebagai Merah Delima. Disamping itu juga ada satu botol minyak Kasturi, dan sebutir batu hitam berurat emas.
Lalu dengan isyarat tangannya, Pak Harto menerjemahkan makna dari benda-benda tersebut. Sambil menunjuk salah seorang anak, yaitu bocah kecil yatim, juga puluhan ayam yang berada di hadapannya. Saya sendiri dapat menangkap isyarat tersebut sebagai berikut :
“Semua benda ini adalah milikku, berikanlah kepada anakku ini (salah satu anaknya), tapi bila engkau ragu kepadanya, manfaatkanlah untuk membuat ternak ayam yang hasilnya bisa dibagikan kepada anak yatim piatu.”
Begitulah mimpi mengesankan yang saya alami. Demi menjelaskan makna dari kedalaman mimpi tersebut, Insya Allah saya akan membeberkan rahasia prihal benda-benda yang ada pada tangan Pak Harto itu di penghujung tulisan ini nanti.
***
Pagi hari setelah mengalami mimpi yang bagi saya penuh kerahasiaan
itu, maka saya langsung menanyakan perihal mimpi tersebut kepada Sang
Guru. Aneh, beliau malam menjawabnya seperti ini, “Sama saja! Aku juga
mimpi didatangi oleh HM. Soeharto, tadi malam. Beliau juga mengabarkan
telah mendapat rahmat dari sedakohnya di alam dunia.”Begitu banyak orang yang memujanya, namun tak sedikit pula yang mencelanya. Banyak pula jasanya bagi negeri ini, tapi tak sedikit pula celanya ketika dia berkuasa. Sang Jenderal Besar ini memang punya peran sejati yang seakan tak pernah tuntas terjawab. Bahkan hingga ajal menjemputnya.
Begitulah sosok HM. Soeharto yang selama 32 tahun menggenggam republik dalam kekuasaannya. Selama itu pula nyaris tak ada cela pada dirinya. Semua tertutup begitu rapat. Penulis Belanda, O.G. Roeder, menyebutnya The Smiling General, jendral yang selalu tersenyum. Seperti kebanyakan orang Jawa, paras Soeharto memang selalu nampak tersenyum, bahkan ketika dia sedang menahan amarah sekalipun. Inilah salah satu kelebihannya.Lengsernya Soeharto pada 21 Mei 1998 seakan menjadi sebuah pertanda yang sangat buruk. Berbagai hujatan dan catatan kelam pemerintahannya meradang bagai kanker stadium empat. Hal ini seakan-akan mengubur semua jasa-jasanya selama memimpin Orde Baru.
Mengiringi kejatuhannya yang begitu dingin, pergunjingan tentang berapa banyak harta anak-anak Soeharto seakan-akan menjadi menu harian bagi rakyat negeri ini. Banyak yang kesal dan menjadikan Soeharto sebagai bulan-bulanan, Belum lagi soal pelanggaran HAM, korupsi dana yayasan, juga sederat soal lainnya, yang nyata menuding Soeharto sebagai dalang di balik semua kebobrokan itu.
Semua itu menjadi masalah hukum yang sulit untuk diselesaikan. Kontroversi pun terus saja berlanjut. Bahkan, hingga malaikat maut menjemputnya ke haribaan Illahi.
Warna-warni perjuangannya dalam membangun bangsa dan negara, terkikis di penghujung hayatnya. Bahkan di saat, detik-detik terakhir tutup usia, pro dan kontra terus mengalir silih berganti.
Kini, dengan meninggalnya HM. Soeharto, apa masalah hukumnya, khususnya hukum perdata, apa akan berakhir pula? Tentu jawabannya adalah tidak. Masalah ini akan terus mengakar tanpa pasri di titik mana ujungnya akan berakhir.
Tulisan ini, sesungguhnya tidak bermaksud mengkaji mengenai almarhum Pak Harto dari sisi fisik atau lahiriyah. Lewat tulisan ini, saya (Penulis) semata-mata hanya ingin membeberkan sebuah perkara berdimensi gaib, yang memang erat hubungannya dengan almarhum. Khususnya, mengenai keberadaan “pusaka” gaibnya. Karena itulah, saya memberanikan diri memberi judul tulisan ini dengan “Wasiat Gaib Almarhum Pak Harto.”
Berupa apakah pusaka gaib tersebut? Siapa pula yang harus melaksanakan wasiat gaib almarhum? Dan, bagaimana dengan penilaian para kyai khosois sendiri yang mendapat kabar baik dari HM. Soeharto, beberapa saat setelah almarhum meninggal dunia?
Tanpa bermaksud menebar sensasi, inilah kisah sesungguhnya yang saya alami selama beberapa waktu, baik sesudah maupun setelah wafatnya Pak Harto….
Tepatnya selasa dini hari, 29 Januari 2008, dua hari setelah HM. Soeharto meninggal dunia, saya bermimpi bertemu dengan beliau di sebuah istana yang sangat indah. Di hadapan saya, wajah Pak Harto tampak bercahaya. Begitu pun dengan koko putih yang dikenakannya juga benderang bagaikan pualam. Pak Harto terus tersenyum sambil melemparkan beberapa beras mutiara untuk puluhan ayam yang semuanya berwarna putih bersih.
Sesudah itu, Pak Harto mendekatiku dan berucap, “Ya Salam…Ya Salam.. An dzoh dotil qubri wal malaikatani biidznillahi. Addarojatul a’la mindarojatil qubri…amin (sesungguhnya aku selamat…selamat dari impitan bumi yang sangat mengerikan, selamat pula dari pertanyaan kedua malaikat ahli kubur…semua ini karena kefadholan dari Allah SWT. Selamatnya aku dari siksa kubur, semua karena rahmat yang diberikan oleh manusia hidup atas hujatannya hingga dosa yang kupikul selama hidup di dunia, perlahan-lahan sirna…amin).”
Sambil masih tersenyum, Pak Harto tambah mendekatiku, lalu membuka telapak tangannya. Pada telapak tangan itulah saya melihat ada dua butir batu permata yang bersinar merah benderang, sehingga aku meyakinya sebagai Merah Delima. Disamping itu juga ada satu botol minyak Kasturi, dan sebutir batu hitam berurat emas.
Lalu dengan isyarat tangannya, Pak Harto menerjemahkan makna dari benda-benda tersebut. Sambil menunjuk salah seorang anak, yaitu bocah kecil yatim, juga puluhan ayam yang berada di hadapannya. Saya sendiri dapat menangkap isyarat tersebut sebagai berikut :
“Semua benda ini adalah milikku, berikanlah kepada anakku ini (salah satu anaknya), tapi bila engkau ragu kepadanya, manfaatkanlah untuk membuat ternak ayam yang hasilnya bisa dibagikan kepada anak yatim piatu.”
Begitulah mimpi mengesankan yang saya alami. Demi menjelaskan makna dari kedalaman mimpi tersebut, Insya Allah saya akan membeberkan rahasia prihal benda-benda yang ada pada tangan Pak Harto itu di penghujung tulisan ini nanti.
***
Yang tak kalah aneh, di siang hari yang sama, ketika saya masih sowan ke padepokan guru, di rumah Ibuku kedatangan empat tamu istimewa. Mereka adalah para insan khosois dari beberapa daerah. Di antaranya adalah Saidah Ruqoiyah dan Jalaliyatal Maryam. Dua orang ini ahli bertapa dan sudah sejak usia muda mereka telah meninggalkan kesenangan duniawiyah (waro’i) untuk memilih hidup sebagai mursyid. Sedangkan yang dua orang lagi adalah Habib Luthfi dan Habib Thohir, yang merupakan ulama Thoriqoh Kadiriyah.
Menurut cerita Ibuku, di hadapan dirinya keempat tamu istimewa ini saling bertukar cerita, bahwa tadi malam mereka semua bermimpi di datangi oleh sosok HM. Soeharto. Seperti halnya penuturan dari Saidah Ruqoiyah dan Habib Luthfi, keduanya bermimpi sama, yaitu ditemui HM. Soeharto yang berkata dengan seulas senyum yang sangat menawan.
“Aku selamat karena doa dari para Ahlillah sewaktu kuberdoa di dalam Baitullah (Ka’bah).” Demikian kata Habib Luthfi seperti disampaikan Ibu pada saya.
Sedangkan menurut Jalaliyatal Maryam, di dalam mimpinya, HM. Soeharto berkata begini, “Maha Besar Allah dengan segala kefadholanNya, sesungguhnya aku selamat karena doa para anak yatim yang pernah kuberikan kesenangan kepada mereka.”
Menurut Habib Thohir, dalam mimpinya, HM. Soeharto berkata dengan mimik wajah penuh keriangan, “Demi surga yang kuperoleh, Demi Allah aku haturkan atas doa para ulama dan masyarakat luas yang tulus ikhlas mendoakan keselamatanku.”
Insan-insan khosois itu sangat saya yakini tidak akan berbohong dengan kesaksiannya. Pastilah mereka memang telah mengalami mimpi itu.
Di hari yang sama, sesuai dengan anjuran guru, menjelang senja saya memutuskan untuk ziarah ke Masjid Agung Sang Cipta Rasa. Aneh, di sana telah berkumpul puluhan ulama. Mereka juga sedang menceritakan mimpinya masing-masing tentang pertemuan dengan HM. Soeharto, yang mengabarkan keselamatan dirinya dari siksa kubur.
Dengan rakzim saya menyimak kisah-kisah mereka. Tapi saya tidak berani bertanya apa pun. Wallahu ‘alam bissawab! Biarlah kabar lewat mimpi itu menjadi rahasiaNya semata, yang tidak bisa diukur dengan akal manusia.
Memang, jauh-jauh hari sebelum mantan orang nomor satu Indonesia itu dipanggil ke hadirat Allah SWT, para ulama khosois ahli Jawa, sudah mengetahui lewat hawatif batin yang mereka terima dari undangan Kanjeng Sunan Kalijaga.
Disebutkan, undangan Kanjeng Sunan Kalijaga itu berisi ajakan kepada seluruh para khosois untuk datang dalam acara perhelatan akbar di I(stana Pakungwati Kasepuhan Cirebon. Tepatnya acara berlangsung sekaitan dengan momen menyambut tahun baru Islam 1 Muharram, 1429 H. Acara ini, diprakarsai langsung oleh Sunan Gunung Jati dan Mbah Kuwu Cakra Buana.
Dalam pandangan para khosois, perhelatan akbar seperti ini sudah biasa mereka lihat. Apalagi dalam acara mensyukuri datangnya tahun baru Islam yang penuh makna sejarah. Di samping itu, semua makhluk dari beragam alam wajib menghormati tahun baru Islam, karena rahmat yang terkandung di dalamnya. Tahun baru Islam sendiri adalah simbol dari permulaan kisah dari semua kisah. Seperti di saat Allah SWT menciptakan langit, bumi, hujan, hari kiamat, rahmat, rizki, dan lain sebagainya. Semuanya itu di tahun baru Islam.
Juga pengangkatan derajat Nabiyullah Idris as masuk surga Majazi, Nabiyullah Adam as diterima tobatnya setelah memakan buah Khuldi. Nabiyullah Ibrahim as selamat dari pembakaran, Nabiyullah Yusuf as dimerdekakan dari status budak, Nabiyullah Yunus as selamat dari ikan hiu, Nabiyullah Ayyub as sembuh dari penyakit kulitnya, Nabiyulah Ya’kub as bisa melihat kembali dari kebutaan matanya, dan masih banyak peristiwa lainnya.
Karena itulah adalah wajar bila bangsa Waliyullah dari Alamul Barry dan Alamul Thurrob mensyukurinya.
Undangan musyawarak tersebut untuk bangsa manusia juga disampaikan secara langsung oleh Kanjeng Sunan Kali Jaga. Sekaiatan dengan ini, maka ada hal-hal yang perlu dicermati oleh semua orang, tentang sebuah misteri yang belum terungkap sepenuhnya.
Tiga hari sebelum malam pergantian tahun baru Islam, para khosois dari berbagai daerah mulai berdatangan dan berkumpul di Masjid Sang Cipta Rasa Cirebon. Tak hanya itu. sebelas paranormal Jalaliyah yang biasanya tidak pernah ikut-ikutan, juga datang satu demi satu untuk menghadiri perhelatan keramat berdimensi gab tersebut. Kesebelas orang paranormal dimaksud adalah orang-orang pilihan yang sangat dipercaya oleh penguasa Ratu Pantai Selatan, Mereka semuanya hidup dari satu tempat ke tempat yang lain, sehingga mereka sama sekali tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap.
Jauh sebelumnya, saya sendiri mengenal mereka di beberapa tempat terpisah. Sebagai contoh, Ki Panjalu dan muridnya Ki Rosyid, bertemu denganku saat ziarah di Pasarean Syekh Dukuh Jeruk Brebes. Sedangkan Ki Ma’ani dan Ki Sutejo, bertemu dengan saya pada saat kami sama-sama berada di Paserean Ki Muhyi, Pamijahan, Tasikmalaya. Sementara Ki Arwani, Mbah Dullah, Ki Sabrawi, dan Ki Pejo, bertemu dengan saya pada saat saya tirakat di Masjid Agung Sang Cipta Rasa.
Yang lainnya adalah Ki Mas’ud, bertemu denganku di Pesarean Nyi Mas Gandasari, Panguragan. Mbah Qoiyyu bertemu dengan saya di Paserean Pangeran Papak, Garut. Dan yang terakhir adalah Gus Bur,. Saya bertemu dengannya saat tirakat di Paserean Habib Keling di Indramayu.
Dalam hal sifat, kesebelas paranormal Jalaliyah yang telah saya sebutkan satu persatu namanya, memang tergolong tidaklah umum. Mereka semua berperilaku seperti orang kurang waras. Namun, dalam hal oleh kebatinan dan kebersihan hati, merekalah ahlinya.
Lewat pendalaman batin yang saya miliki, malam itu saya melihat Masjid Agung Sang Cipta Rasa Cirebon, telah dipadati oleh para ahli khosis dalam menyambut datangnya tahun baru Islam. Mereka semua telah memenuhi kreteria panggilan sang Sunan Kali Jaga dalam menembus dimensi lain, guna menghadiri perhelatan akbar di Alamul Barri bangsa wali.
Di hadapan aula besar istana bangsa wali, semua berkumpul mendengarkan tausiyah dari Kanjeng Sunan Gunung Jati. Di antara tausiyahnya tersebut, sang Sunan berkata, “Doakanlah Harto dan bantulah untuk mencabuti benda yang bersarang di tubuhnya. Sesungguhnya Harto akan menjadi rekan kita sebentar lagi (meninggal dunia).
Perlu kiranya saya tegaskan, yang dimaksud tujuh benda adalah: Bunga Wijaya Kusuma, Bunga Teratai, Bunga Melati, Batu Yaman Ampal, Batu Dampar Emas, dan 2 buah pedang. Bila Allah SWT masih menghendaki Pak Harto untuk tetap hidup, niscaya ketiga bunga tersebut sebagai tanda kehidupannya. Tapi, bila Allah SWT berkehendak ingin mengambil nyawanya, niscaya batu-batu tadi yang menjadi tandanya. “Dan bila Allah SWT berkehendak memberi peringatan terlebih dahulu, maka pedang inilah yang menjadi kuncinya.” Demikian penegasan Sunan Gunung Jati.
Setelah mendengar sembilan tausiyah yang dibeberkan oleh Kanjeng Sunan Gunung Jati, maka kami semua shalat berjamaah, yang kemudian diteruskan dengan zikir bersama.
Saat usai berdoa yang dipimpin oleh Mbah Kuwu Cakra Buana, tiba-tiba seberkas sinar kuning keemasan dan merah menyala melesat mengitari semua jamaah yang ada di majelis tersebut. Sesaat kemudian, salah satu sinar, yaitu sinar kuning emas, jatuh menukik. Tepatnya jatuh di pangkuan Ki Panjalu, salah seorang dari sebelas paranormal Jalalliyah yang turut hadir dalam perhelatan tersebut.
Sementara itu, sinar yang merah menyala melesat terbang ke arah barat, tepatnya ke Banten dan dikatakan tepat jatuh di atas cungkup Pesarean Sultan Hasanuddin, anak dari Sunan Gunung Jati.
Dari kejadian ini, semua yang hadir paham dengan apa yang dimaksud. Sinar kening keemas dan merah menyala itu adalah Batu Yaman Ampal dan Batu Dampar Emas. Maka, dengan melesatnya kedua batu tersebut, ini jelas merupakan pertanda akan berakhirnya usia HM. Soeharto.
Intinya, rahasia dari undangan Sunan Gunung Jati kali ini adalah pemberitahuan akan wafatnya sosok pemimpin besar HM. Soeharto. Makanya, dengan mengikuti langsung perhelatan tersebut, jauh-jauh hari saya sudah menuliskan ramalan lewat sebuah judul “Perjalanan Bencana Tahun 2008; Edisi 435). Dalam kajian tersebut saya menulis, “Nama-nama terkenal dari seseorang, baik yang ada dalam lingkup orang kuat maupun selebritis kondang, salah satuya, di tahun ini akan tiada.” Sesungguhnya yang saya maksudkan adalah Pak Harto. Hanya saja, saya sengaja membuatnya lebih “bercabang”, sebab saya tidak mau dituding mendahului Tuhan.
Kembali ke cerita semula. Seusai perhelatan akbar tersebut, separuh dari bangsa manusia yang hadir dalam perhelatan ini, mulai berusaha mendekati Ki Panjalu. Seperti saya katakan, bahwa sinar berwarna kuning keemasan itu jatuh ke pangkuan Ki Panjalu. Dan ternyata sinar itu adalah berupa mustika yang disebut sebagai Dampar Emas.
Semua yang hadir dalam perhelatan itu ingin ngalap barokah dari karomah mustika yang sangat langka tersebut. Namun karena sifat nyelenehnya, Ki Panjalu malah berkelakar seenaknya, “Iki watu Pak Harto, kowe kabeh ora entuk bagian mung aku lan siji santriku. Iki watu arep tak ijoli ayam sing akeh, mben manganku saban dinane karo lauk ayam (Ini batu kepunyaan Pak Harto, kamu semua tidak dapat bagian kecuali aku dan satu santriku. Ini batu mau saya tukar dengan ayam yang banyak (bikin ternak ayam) agar setiap hari aku selalu makan dengan lauk ayam.”
Setelah berkata demikian, guruku berbisik di telingaku, “Coba kau tawar batu ini semampu yang kau punya. Dan kalau bisa, batu itu harus jadi milikmu sebagai jalan derajat di dunia.”
Setelah mendapatkan titah demikian, dengan rasa setengah hati, karena malu masih banyaknya orang di sekitar kami, saya memberanikan diri menawar batu tersebut. Saya pun berbisik ke telinga Ki Panjalu, berniay mengajukan penawaran.
Anehnya, belum lagi saya ngomong, Ki Panjalu sudah berbicara dengan suara keras, “Kowe arep tuku batu iki? Piro? (Kamu mau membeli batu ini? Berapa?”
Mendengar suara Ki Panjalu yang jelas ditujukan padaku, maka membuat semua orang disitu tertawa terbahak-bahak. Tak ayal lagi, wajah saya pun langsung merah padam karenanya.
Untungnya, saya masih punya sedikit keberanian. Telanjur malu, dengan suara agak lancing saya pun mengajukan harga penawaran kepada Ki Panjalu, meski disaksikan oleh orang banyak.
“Maaf, Ki! Aku berani bayar 12 juta untuk batu itu,” kataku dengan suara agak lantang.
Sambil tertawa jenaka, Ki Panjalu berujar, “Iku durung entuk ayam sekandang, Cung?” (Itu belum dapat ayam satu kandang, Cung). Untuk kedua kalinya saya jadi malu sendiri.
Tawar menawar ini akhirnya memang gagal, sebab Ki Panjalu selalu saja membawanya kea rah percandaan. Tapi Alhamdulillah, Ki Panjalu mau memberikan karomah Mustika Dampar Emas lewat sarana air putih, sehingga semua yang hadir di situ mendapatkan karomah dari mustika yang sangat langka tersebut.
Tak berapa lama kemudian, sang guru mengajakku segera pulang. Sebelum meninggalkan tempat itu, satu persatu saya menjabat dan mencium tangan mereka. Ketika saya bersalaman dengan Ki Panjalu, beliau berbisik di telingaku, “Iki aku njaluk tolong karo kowe, Cung! Gawe no’ mban kang apik sak durunge dijolih karo ayam, aku pengen ngenggo sih. Gelem, yo? (Ini aku minta tolong sama kamu, bikinlah cincin yang bagus. Sebelum batu ini ditukar ayam, aku ingin memakainya dulu. Mau ya?)” Sambil berkata demikian Ki Panjalu menyerahkan batu hitam berurat emas itu.
Saya pun mengangguk tanda setuju,
“Pirang dina iki dadine, mben aku iso nunggu neng kene (Berapa hari cincin ini jadinya? Agar aku bisa menunggu di sini)?” Tanya Ki Panjalu/
Akhirnya, saya memberikan kesepakatan waktu satu minggu.
Di luar dugaan saya, ternyata tiga hari sejak pemesaran, cincin sudah jadi dan langsung di antar ke rumah saya. Wow, betapa indahnya. Tepat pada hari yang ke tujuh, atau seminggu, sesuai dengan perjanjian, saya langsung ke Masjid Agung Sang Cipta Rasa, dengan masud ingin memberikan cincin Mustika Dampar Emas yang sudah jadi kepada pemiliknya, Ki Panjalu.
Hampir seharian saya menunggu Ki Panjalu, namun sosok eksentrik itu tidak juga nampak batang hidungnya. Yang datang justeru Mbah Qoiyyu, yang langsung memberikan secarik surat kepadaku.
“Cung, tiga hari sepulang dari sini, murid Ki Panjalu datang ke sini dan memberikan surat ini untukmu. Muridnya itu mengabarkan bahwa Ki Panjalu telah meninggal dunia secara mendadak. Kini beliau dimakamkan di daerah Cikeas, Bogor!” Beri tahu Mbah Qoiyyu yang memang sering tirakat di Masjid Agung Sang Cipta Rasa.
Innalillahi wa inna ilahi rajiun! Saya sampai tertegun dan seolah tak percaya dengan apa yang disampaikan oleh Mbah Qoiyyu.
Lalu, saya teringat dengan cincin Mustika Dampar Emas kepunyaan Ki Panjalu, yang sudah selesai saya buatkan ikatannya. “Mbah Qoiyyu, tolong serahkan cincin ini pada muridnya Ki Panjalu, karena sesungguhnya dialah yang berhak mewarisnya,” pintaku.
Dengan seulas senyum penuh makna, Mbah Qoiyyu malah berkata begini, “Bukalah surat itu, semoga beliau (Ki Panjalu) sudah menjabarkannya.”
Dengan hati berdebar-debar, saya akhirnya membuka surat pemberian Ki Panjalu, yang ternyata menggunakan huruf Arab itu. Isinya sebagai berikut;
“Assalammu’alaikum wr wb. Cung, titip kiwatu ning rong bagian. Ternak lan rosyid. Wassalam. Panjalu (Assalammu’alaikum wr wb. Mas, saya titip batu ini untuk dua hal, satu ternak, dua petunjuk).”
Jika ditafsirkan, ternak sama dengan syariat lahir, sedangkan petunjuk sama dengan buah dari kemuliaan.
Begitulah. Sepulang dari Masjid Agung Sang Cipta Rasa, saya langsung masuk kamar dan terus mendoakan Ki Panjalu dengan berkirim Ummul Qur’an ke hadirat Illahi Rabbi. Ya, semoga Ki Panjalu diterima di sisiNya. Amin.
Malam harinya, saya masih larut dalam doa dan mengirim puji-pujian, dalam kesedihan untuk terus mendoakan Ki Panjalu, tiba-tiba saya dikejutkan oleh suara benda jatuh dari atas langit-langit kamar. Subhanallah! Di depan Misteri telah tergeletak satu buah delima merah ranum, dan sebongkah kantong kecil air yang tertutup bahan kulit yang sangat tipis.
Di saat buah delima itu saya bua, ternyata di dalamnya ada dua biji batu berwarna merah sebesar biji delima. Dan di saat kantong air tadi saya buka, ternyata di dalamnya terdapat wadah kecil berisi minyak yang aromanya wangi semerbak.
“Subhanallah! Apa maksud semua ini?” Batin saya.
Setelah kemangkatan Pak Harto pada Minggu 27 Januari lalu, saya mimpi bertemu dengan Ki Panjalu yang datang bersama Pak Harto. Akhirnya, saya baru paham bahwa semua benda tersebut ternyata adalah kepunyaan dari Bapak HM. Soeharto. Dan lewat amanatnya, saya hanya sekedar menyampaikan bahwa benda-benda tersebut boleh diambil sebelum 41 hari sejak meninggalnya HM. Soeharto, yaitu oleh anak tertuanya.
Sesuai dengan wasiat gaib yang saya peroleh, bila lebih dari waktu yang telah ditentukan, maka saya mohon maaf kepada seluruh zuriat almarhum Pak Harto, bahwa barang-barang itu akan dihibahkan kepada pihak lain, sebagaimana amanat dari Bapak HM. Soeharto sendiri.
Begitulah wasiat gaib yang saya peroleh. Perlu saya tegaskan sekali lagi: SAYA TIDAK BERMAKSUD MENEBAR SENSASI. Karena itu, bagi yang berseberangan dengan keyakinan ini, maka saya mohon maaf atas tulisan ini. Tujuan saya semata-mata hanya ingin menyampaikan amanat almarhum Pak Harto.
Mengapa saya tidak menyampaikannya secara langsung kepada pihak keluarga almarhum? Dengan penuh kerendahan hati saya katakan, bahwa saya tidak mungkin bisa menemui keluarganya karena sudah barang tentu mereka juga tidak mungkin mengenal saya.
Demikianlah yang dapat saya sampaikan. Semoga hal ini menjadi sebuah bukti kecintaan saya terhadap almarhum HM. Soeharto. Kepada seluruh zuriatnya, saya mohon dibukakan pintu maaf yang selebar-lebarnya apabila ada kesalahan kata-kata dalam tulisan ini. Terima kasih. source
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan Coretannya yang ditunggu untuk kebaikan bersama....