Penyerangan Jemaah Ahmadiyah di Cikeusik, Banten |
Teror dan ancaman kekerasan ternyata tak membuat JAI jera. Ormas yang tengah menjadi sorotan ini bersikeras untuk tetap mempertahankan eksistensinya di Indonesia.
Abdul Basith membacakan kalimat syahadat di hadapan anggota Komisi VIII DPR RI, Rabu (16/2). Amir Nasional Pengurus Besar Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) itu nampaknya berusaha meyakinkan parlemen bahwa ajaran yang diusungnya tidak lah sesat, karena syahadat yang dibacakan memang sama persis dengan yang selama ini dianut umat Islam. Basith sama sekali tak menyebut Mirza Ghulam Ahmad yang selama ini dikenal sebagai nabi kaum Ahmadiyah.
Karena itu lah, Basith menolak tegas permintaah public agar Ahmadiah menjadi agama baru. Basith berkilah Ahmadiyah berpegang teguh pada ajaran Al Quran dan Hadits. “Pendiri Jamaah Ahmadiyah tegas bahwa kita berpegang teguh pada Quran, sunah dan hadits. Itu pegangan kami. Itu (menjadi agama baru) tidak bisa dipaksakan, tidak ada satu kekuasaan siapa pun bisa memakasakan keyakinan. Kita beramal, kita ikrar terhadap Islam,” akunya.
Tak hanya itu. Amir Nasional JAI ini juga ‘merayu’ wakil rakyat dengan membeber jasa-jasa Ahmadiyah semasa perjuangan kemerdekaan. “Seperti Syaikh Muhammad Muhidin menjadi sekretaris PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Pencipta lagu Indonesia Raya (WR Supratman) juga orang Ahmadiyah,” jelas Basith.
Legalitas Ahmadiah sebagai ormas, aku Basith, juga tak bermasalah. Ia menjelaskan, Ahmadiyah di Indonesia berstatus sebagai badan hukum pada tahun 1953 yang dikeluarkan Kementerian Kehakiman. “Prinsip organisasi berdasar Pancasila dan UUD 1945, kami tidak berpolitik, taat dan patuh pada pemerintah Indonesia yang sah, patuh pada institusi negara,” paparnya.
Itulah sebabnya, Basith menolak tegas bila Ahmadiah disebut sebagai biang keresahan masyarakat. “Ini yang terus didengung-dengungkan. Kalau ada penyerangan, kita yang baik-baik dibilang kita yang meresahkan dan membuat bentrok. Justru kitalah yang diserang,” tukasnya.
Kehadiran JAI ke Komisi VIII DPR memang sengaja diundang untuk melakukan rapat dengar pendapat umum. Sejumlah anggota JAI turut hadir, juga perwakilan aktivis sejumlah LSM diantaranya Kontras, YLBHI dan LBH. Sejumlah agenda menjadi pembahasan dalam sidang ini, terutama menyusul aksi penyerangan terhadap jamaah Ahmadiah di Kecamatan Cikeusik, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten, awal Februari lalu. Kejadian ini menewaskan 3 anggota JAI.
Aksi penyerangan terhadap JAI sebenarnya bukan hal baru. Sejak Rabithah Alam al Islami menyatakan Ahmadiah sebagai aliran sesat pada 1970-an, penyerangan sudah kerap terjadi. Kondisi ini yang belakangan mendorong pemerintah mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) pada 9 Juni 2008. Isinya berupa perintah agar JAI menghentikan kegiatannya yang bertentangan dengan Islam.
Sayangnya SKB justru memicu tindak kekerasan. Di satu pihak Ahmadiah sebagai ormas menolak membubarkan diri dan terus menjalankan aktivitasnya. Di lain pihak, para penentangnya mempunyai legalitas untuk bertindak. Ironisnya, menurut salah seorang Kuasa Hukum JAI, Choirul Anam, aparat cenderung membiarkan tindak anarkis itu.
Mendari Gamawan Fauzi sendiri mengakui bahwa sebagai ormas, keberadaan JAI memang sah. Hanya saja, kata Gamawan, JAI sebagai ormas dianggap melanggar ketertiban administrasi di Kemendagri. Pasalnya JAI sudah beberapa tahun tidak memperbarui Surat Keterangan Terdaftar (SKT) yang mestinya dilakukan dua tahun sekali. “Dulu tahun 2003 (terakhir) mendaftar. Tapi kemudian dia (JAI) kan harus memperbaharui 2 tahun sekali. Tapi tidak dilakukan,” kata Gamawan di kantornya, Rabu (9/2).
Apakah hal ini cukup menjadi alas an untuk membubarkan JAI? Sejauh ini belum jelas solusi yang hendak ditempuh pemerintah. Yang pasti, JAI tak akan menyerah begitu saja terhadap tuntutan pembubaran diri.
Sejarah Panjang Ahmadiah Indonesia
Keberadaan Ahmadiah sebenarnya sudah cukup lama. Salah satu aliran dalam Islam ini didirikan Mirza Ghulam Ahmad (1835-1908) pada 1889 di sebuah desa kecil di Punjam India, benma Qadian. Mirza mengaku sebagai mujaddid, al Masih dan al Mahdi.
Dalam perkembangannya, Ahmadiah terpecah menjadi dua kelompok. Keduanya sama-sama mempercayai Mirza Ghulam sebagai Isa al Masih yang dijanjikan Nabi Muhammad SAW. Tetapi dua kelompok tersebut punya perbedaan prinsip. Kelompok pertama, Ahmadiah Qadian. Di Indonesia dikenal dengan Jemaat Ahmadiah Indonesia (JAI) berpusat di Bogor. Kelompok ini tak hanya mempercayai Mirza sebagai mujaddid (pembaharu), tetapi juga sebagai nabi, hanya saja tidak membawa syariat baru. Saat ini yang menjabat sebagai Amir JAI adalah H Abdul Basith Amir.
Kelompok kedua adalah Ahmadiah Lahore. Di Indonesia dikenal dengan Gerakan Ahmadiah Indonesia (GAI), berpusat di Yogyakarta. Secara umum kelompok ini tidak menganggap Mirza sebagai nabi, melainkan hanya sekedar mujaddid.
Sejarah perkembangan Ahmadiah Qodian di Indonesia cukup panjang. Bermula pada tahun 1923, ketika tiga pemuda pesantren Tawalib, Sumatera Barat, meninggalkan negerinya untuk menuntut ilmu. Ketiganya adalah (alm) Abubakar Ayyub, (alm) Ahmad Nuruddin, dan (alm) Zaini Dahlan. Semula mereka hendak menuju ke Kairo. Namun guru mereka menyarankan agar pergi ke India, karena negara tersebut mulai menjadi pusat modernisasi Islam.
Akhirnya ketiga pemuda Indonesia tiba di Lahore, dan bertemu dengan Anjuman Isyaati Islam atau dikenal dengan nama Ahmadiah Lahore. Singkat cerita, ketiga orang itulah yang kemudian menjadi akar perkembangan Ahmadiyah di Indonesia. Perkembangan Ahmadiah mulai nampak ketika mereka mengundang Hadhrat Khalifatul Masih II, tokoh Ahmadiah Lahore, untuk berkunjung ke Indonesia. Saat itu yang hadir hanya wakilnya, (alm) Maulana Rahmat Ali HAOT. Tepat pada 2 Oktober 1925, Maulana Rahmat Ali tiba di Tapaktuan, Aceh. Kemudian berangkat menuju Padang, Sumatera Barat. Sejak saat itu pengikut Ahmadiah kian bertambah.
Akhirnya pada tahun 1926, Jemaat Ahmadiah mulai resmi berdiri sebagai organisasi. Dan setelah Maulana Rahmat Ali berangkat ke Jakarta, perkembangan Ahmadiah kian pesat, hingga dibentuklah Pengurus Besar (PB) Jemaat Ahmadiah dengan (alm) R Muhyiddin sebagai ketua pertamanya.
Ketika proklamasi Indonesia dikumandangkan pada 17 Agustus 1945, Jemaat Ahmadiah berubah nama menjadi Jemaat Ahmadiah Indonesia (JAI). Dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan, tidak sedikit para pengikut Ahmadiah yang ikut berjuang. Bahkan (alm) R Muhyiddin sendiri meninggal karena dibunuh tentara Belanda pada 1946. Pada tahun 1950-an, JAI akhirnya mendapatkan legalitas sebagai ormas dengan dikeluarkannya status Badan Hukum oleh Menteri Kehakiman RI No. JA. 5/23/13 pada tanggal 13 Maret 1953.
Demo anti Ahmadiyah |
Pada era pasca kemerdekaan, JAI tidak pernah berpolitik, meskipun secara personal banyak anggotanya yang aktif dalam pergerakan. Aktivis Arif Rahman Hakim yang tewas ketika terjadi ketegangan politik pada 1960-an adalah khadim Ahmadiah.
Kabar tak mengenakkan bagi pengikut Ahmadiah terjadi pada era 1974 ketika Rabithah Alam al Islami menyatakan Ahmadiah sebagai ajaran non muslim. Sejak saat itulah tekanan terhadap JAI terjadi. Para ulama MUI bahkan memberi predikat Ahmadiah sebagai ajaran sesat. Akibatnya aksi penyerangan terhadap Ahmadiah mulai terjadi.
Pada era 1990-an, Ahmadiah kembali mengalami perkembangan pesat, bersamaan dengan diluncurkannya Moslem Television Ahmadiyya (MTA). Tetapi setelah reformasi 1998 bergulir, tekanan untuk menghancurkan eksistensi JAI kembali menguat. Bahkan kini aksi penyerangan terhadap jamaah Ahmadiah kian menjadi-jadi.<Naskah: Adhitya Himawan>
Sumber
Info Terkait :
1.Bentrokan Adanya Aliran ahmadiyah
2.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan Coretannya yang ditunggu untuk kebaikan bersama....