antara warga dan jemaat Ahmadiyah. Masing-masing terjadi
di Cikeusik (Pandeglang) disusul dengan Temanggung,
Jawa Tengah. Kejadian yang menelan korban jiwa dan
rumah ibadah telah mencoreng nama Indonesia, khususnya
di luar negeri sebagai tiga besar negara demokrasi di dunia.
Tentu saja rakyat mengharapkan agar peristiwa berdarah ini
tidak terjadi lagi.
Bila dilihat dari usianya, Ahmadiyah sudah berdiri
di Lahore sejak 4 Maret 1889 yang berarti lebih satu abad lalu.
Tidak diketahui sejak kapan organisasi internasional ini masuk
ke Indonesia. Yang pasti, ia sudah ada sejak zaman kolonial.
Pada masa itu, tidak ada reaksi dari kalangan umat Islam terhadap
berdirinya jemaat yang disponsori kolonialis Inggris di Pakistan
(kala itu merupakan bagian dari India), sedangkan di Indonesia
yang menjadi penasihat pemerintah kolonial terhadap
urusan Islam adalah Snouck Hurgronye. Dia seorang Kristen
dan demi kepentingan penjajahan menobatkan diri sebagai
pemeluk Islam. Tidak mustahil dia mengizinkan Ahmadiyah
berdiri untuk mengekalkan penjajahannya di Tanah Air,
seperti juga dilakukan dua negara kolonialis lainnya Inggris
dan Prancis.
Kala itu, hampir semua negara yang pemeluknya
beragama Islam mereka pecah belah. Ahmadiyah sendiri
sejak masa penjajahan telah memiliki sebuah masjid
merupakan pusat kegiatannya di Jalan Balikpapan I dekat
Rumah Sakit Tarakan, Jakarta Barat.
Keberadaan masjid Ahmadiyah ini pada masa pemerintahan
Bung Karno tidak pernah
mendapat reaksi dari umat Islam. Rupanya kala itu, keberadaan
Ahmadiyah tidak sampai menimbulkan bentrokan-bentrokan.
Maklum, pada masa Orla kehidupan masih didominasi
soal-soal politik. Lebih-lebih, pada zaman demokrasi liberal
hampir tidak ada upaya menentangnya. Ketika itu, parpol-
parpol sedang rebutan kursi dan saling jatuh-menjatuhkan
di antara mereka, sementara para ulama ikut terseret di dalamnya.
Di samping itu, Ahmadiyah belum begitu dikenal masyarakat.
Kala itu, mereka tidak terang-terangan mengaku
Mirza Ghulam Ahnmad sebagai Nabi selain Nabi Muhamad SAW.
Tapi, beberapa gelintir di antara mereka tanpa ragu sudah mulai
mengenalkan identitasnya.
Salah satunya adalah kawan saya di Jalan Kramat II mengaku
sebagai anggota Ahmadiyah.
Padahal, kediamannya berhadapan dengan
Majelis Taklim Habib Ali di Kwitang.
Pada awal Orde Baru, majelis taklim ini tidak seluas sekarang
sebelum diresmikan sebagai Islamic Centre oleh Pak Harto 1970-an.
Saat majelis taklim berlangsung Ahad pagi, sebagian jamaahnya ada
yang berkumpul di kediamannya karena tidak kebagian tempat.
Saat penggantian Bung Karno kepada Pak Harto, dia terpilih
sebagai ketua RW dan saya wakilnya. Mungkin masyarakat
belum tahu bahwa dia adalah anggota Ahmadiyah.
Entah mengapa situasi ketika itu, saya melihat tidak ada gerakan
anti-Ahmadiyah seperti sekarang.
Ketika itu, keberadaan Ahmadiyah belum sebesar sekarang yang
sudah meluas ke berbagai tempat di Tanah Air.
Meski tidak sampai menimbulkan kerusuhan, keberadaan
Ahmadiyah mulai banyak mendapat tantangan ketika Liga
Ahmadiyah Islam se-Dunia (Rabithah Alam Islami) dalam sidangnya
6-10 April 1974 menyatakan sekte Ahmadiyah kafir dan keluar
dari Islam. Mendesak pemerintah-pemerintah Islam untuk melarang
setiap kegiatan pengikut Mirza Ghulam Ahmad
dan menganggap mereka sebagai minoritas non-Islam.
Ketika pernyataan ini keluar, saya tengah menunaikan
ibadah haji dan seruan ini disiarkan secara luas pihak
Arab Saudi termasuk dalam bahasa Indonesia.
Beberapa tahun kemudian, ketika ketemu saya,
dia menyatakan telah menunaikan rukun
Islam yang ketika itu oleh Pemerintah Arab Saudi
terlarang bagi anggota Ahmadiyah.
Demikian juga adiknya yang sealiran juga telah menunaikan
ibadah haji setelah adanya larangan ini. Kini, makin marak
desakan agar Ahmadiyah menyatakan diri non-Muslim
untuk menghindari benturan, seperti di Pakistan dan negara-
negara lainnya.
Infonya lagi klik sini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan Coretannya yang ditunggu untuk kebaikan bersama....