Semua orang pasti memiliki alasan sampai mereka memutuskan untuk
berutang. Sebagian besar yang memutuskan berutang adalah golongan yang
“terpaksa melakukannya”.
Alasan yang sering timbul antara lain:
tidak memiliki uang cash untuk membeli sesuatu atau karena susah untuk
disiplin menabung. Dengan memiliki utang, dia terpaksa harus
menyisihkan secara rutin dari penghasilan bulanannya.
Melihat
kondisi di atas, muncul pertanyaan “apakah setiap orang boleh berutang?
Apakah utang kita produktif? Apakah utang kita itu keinginan atau
kebutuhan?”
Beginilah jawabannya:
KEMAMPUAN
Setiap
orang yang akan memutuskan berutang tentunya harus melihat apakah dia
mampu melakukan pembayaran cicilan yang diambil dari penghasilan
bulanan. Persentase yang baik adalah sebaiknya tidak lebih besar dari 35
persen penghasilan bulanan, atau yang biasa kita sebut dengan Debt
Service Ratio. Lebih dari itu dikhawatirkan akan mengganggu cashflow
bulanan, karena persentase penghasilannya sebagian besar untuk membayar
kewajiban utangnya.
Komposisi utang terhadap aset pun perlu
diperhatikan. Total utang yang baik, tidak lebih besar dari kepemilikan
asetnya (Liquid and Non Liquid Asset). Persentase yang baik adalah
maksimum 50 persen dari aset yang dimiliki, atau biasa kita sebut dengan
Debt To Asset Ratio.
Jika kedua rasio diatas sudah bisa kita
penuhi, maka bisa dibilang kita boleh berutang. Namun perlu kita tinjau
pula pertanyaan di bawah ini.
JENIS UTANG
Sebaiknya
semua bentuk utang yang dimiliki haruslah produktif. Artinya, memiliki
nilai manfaat atau masa pakai yang sesuai dengan masa waktu
pembayarannya. Sebagai contoh, mengambil cicilan rumah dalam bentuk KPR
untuk jangka waktu 15 tahun masih wajar, karena masa pakai rumah
biasanya lebih dari 15 tahun.
Banyak yang akhirnya memutuskan
untuk berutang demi hal yang kurang produktif, atau masa pakainya lebih
singkat daripada jangka waktu pembayaran hutangnya. Contoh: mengambil
cicilan handphone selama 2 tahun, untuk masa pakai yang cenderung
singkat. Ini biasanya terpengaruh model terbaru yang akan keluar.
Jika
utang yang diambil tidak produktif, manfaat yang diterima tidak akan
sepadan. Barang yang dimiliki dari berutang pun biasanya tidak terpakai.
KEINGINAN vs KEBUTUHAN
Keinginan
dan kebutuhan itu bertolak belakang. Belum tentu keinginan kita adalah
suatu kebutuhan. Sering kali keinginan kita paksakan dan anggap sebagai
kebutuhan.
Akhirnya banyak keinginan yang dibeli dengan berutang,
sampai tagihan kartu kredit membengkak hanya untuk mengikuti tren,
contohnya gadget. Gadget lama masih sangat bagus dan fungsional namun
semua itu terkalahkan oleh keinginan memiliki gadget terbaru yang sedang
tren dengan berutang. Menjadi "trendi" kemudian tidak relevan jika
ternyata kita tidak mampu membayarkan cicilan hutang setiap bulannya.
Keadaan
di atas bisa disiasati dengan membuat rekening untuk tujuan yang lebih
spesifik dan terpisah dari rekening pengeluaran sehari-hari. Alokasikan
sebagian uang khusus untuk memenuhi keinginan pribadi kita, yang dapat
digunakan apabila jumlah uang di dalamnya cukup untuk dibelanjakan. Jika
dananya belum mencukupi, maka belum dapat digunakan. Paling tidak kita
memiliki tujuan dibuatnya rekening tersebut.
Dengan langkah
tersebut maka kita dapat mengendalikan kemana larinya uang dan utang
kita, apakah utang kita akhirnya menjadi sesuatu yang produktif, dan
apakah kita berutang mengikuti keinginan atau kebutuhan.
Selamat berhitung dan akhirnya memutuskan apakah kita pantas dan perlu untuk berutang.<Yudit Yunanto, QM Planner>
Sumber : 1 2
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan Coretannya yang ditunggu untuk kebaikan bersama....